Jumat, 05 Desember 2014

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, di samping Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.

Selain mengulas tentang kerangka kebijakan dan prosedur perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Peran hutan kemasyarakatan dalam memperkuat hak kelola rakyat dan mengurangi konflik kehutanan serta tantangan dalam pelaksanaannya. Artikel ini diharapkan mampu menjadi jendela informasi bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh hak kelolanya dan sekaligus mendorong percepatan pencapaian target pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia.

A. KERANGKA KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat.

HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.

Pelaksanaan HKm dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); dan ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.
B. PROSEDUR PERIZINAN dan PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

Untuk melaksanakan HKm ada empat tahapan perizinan yang dibutuhkan, yaitu
a. Permohon IUPHKm;
b. Penetapan Area Kerja HKm;
c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan
d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK­HKm).

Permohonan IUPHKm pertama kali diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk yang berlokasi lintas kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKm, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas­batas perkiraan luasan areal, dan potensi kawasan hutan).

Selanjutnya Bupati/Walikota atau Gubernur meneruskan permohonan kelompok masyarakat tersebut kepada Menteri Kehutanan (Menhut) dengan menerbitkan surat usulan penetapan areal kerja (AK) HKm. Surat tersebut dilengkapi dengan peta digital calon AK HKm skala 1 : 50.000, deskripsi wilayah dan daftar nama anggota kelompok masyarakat pemohon yang diketahui camat dan kepala desa.

Setelah usulan Bupati/Walikota/Gubernur diterima Menteri Kehutanan, kemudian Kemenhut menugaskan Tim Verifikasi ke lokasi pemohon untuk melihat secara langsung kondisi calon areal HKm dan kelompok masyarakat pemohon. Tim Verifikasi terdiri dari unsur Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial (BPDAS­PS), Ditjen Planologi Kehutanan (Planhut), BPDAS, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kab/Kota setempat. Hasil Tim berupa Berita Acara Hasil Verifikasi Usulan HKm yang ditandatangani oleh seluruh anggota Tim dan diketahui oleh Kepala Dishut Propinsi dan Kab/kota setempat. Verifikasi meliputi keabsahan surat Kepala Desa/Lurah tentang keberadaan kelompok dan anggotanya, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan kesesuaian antara areal yang dimohonkan (hutan produksi dan hutan lindung) dengan luas areal yang diusulkan dan tidak dibebani hak.

Hasil verifikasi kemudian diteruskan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) untuk mendapatkan penetapan Areal Kerja HKm. Areal kerja HKm merupakan satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.

Jika persyaratan terpenuhi, tim merekomendasikan calon lokasi HKm sebagai Areal Kerja (AK) HKm, dimana Ditjen BPDAS­PS meminta Ditjen Planologi untuk menelaah dan menyiapkan Peta AK­HKm untuk kemudian ditandatangani oleh Menhut. Setelah Peta AK­ HKm selesai disiapkan, selanjutnya Ditjen BPDAS­PS menyampaikan draft/konsep Surat Ketetapan (SK) Menhut tentang penetapan AK­ HKm melalui Sekretariat Jenderal Kemenhut.

Setelah mendapatkan penetapan areal kerja HKm, langkah berikutnya adalah Bupati segera memproses dan mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) bagi kelompok, yaitu izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm pada HUTAN LINDUNG meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pada HUTAN PRODUKSI meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan. IUPHKm dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan. Jika ketentuan ini dilanggar maka akan dikenai sanksi pencabutan izin.

IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Permohonan perpanjangan IUPHKm diajukan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin berakhir. IUPHKM dapat dihapus bila jangka waktu izin telah berakhir; izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak.

Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan dengan berpedoman kepada tiga asas, yaitu:
manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
musyawarah mufakat, dan
keadilan.

Selain itu, penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan juga berpedoman kepada prinsip­prinsip berikut:
tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,
pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman,
mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,
menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa,
meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,
memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,
adanya kepastian hukum,
transparansi dan akuntabilitas publik,
partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Pemegang IUPHKm dapat mengajukan permohonan memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK­HKm).Permohonan IUPHHK­ HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk koperasi kepada Menteri. IUPHHK­HKm hanya dapat dilakukan areal kerja yang berada di kawasan hutan produksi dan diberikan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya.
C. HUTAN KEMASYARAKATAN: HAK KELOLA RAKYAT dan PENYELESAIAN KONFLIK

Saat ini terdapat lebih 50 juta penduduk miskin Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menggantungkan penghidupannya akan sumberdaya hutan. Karenanya, kebijakan HKm selain bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat juga untuk mengatasi masalah kemiskinan dengan membuka akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat.

Dengan keberadaan Hutan Kemasyarakatan, ada beberapa manfaat yang diperoleh bagi masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:
1. Bagi Masyarakat, HKm dapat :
(a) memberikan kepastian akses untuk turut mengelola kawasan hutan,
(b) menjadi sumber mata pencarian,
(c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga, dan
(d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.

2. Bagi pemerintah, HKm dapat :
(a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan
(b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan.

3. Bagi fungsi hutan dan restorasi habitat, HKm dapat :
(a) mendorong terbentuknya keanekaragaman tanaman,
(b) terjaganya fungsi ekologis dan hidrologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan
(c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.

Selain itu, HKm diharapkan mampu mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sentralistik, yang telah menimbulkan deforestasi, marginalisasi hak­hak masyarakat, keterpinggiran budaya dan kemiskinan. Melalui HKm diharapkan perencanaan dan penetapan kawasan hutan dapat dilakukan dari bawah yaitu berdasarkan fakta lapangan yang memperhatikan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Keberadaan HKm diharapkan mampu menyelesaikan konflik­konflik kehutanan dengan memberikan akses dan hak mengelola terkait klaim masyarakat dalam penguasaan kawasan hutan. Dalam konteks tersebut, HKm diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang membutuhkan pengakuan dan kepastian tenurial.
D. TANTANGAN

Target HKm oleh Kemenhut hingga 2014 adalah 2 juta ha. Namun hingga akhir 2011 Kemenhut baru mendapatkan pengusulan dari Kabupaten/Kota seluas kurang lebih 700 ribu ha (35%) dan sudah diverifikasi seluas 571.000 ha (28,6%). Dari jumlah tersebut, yang sudah ditetapkan areal kerjanya seluas 177.484 (8,9%) ha dan sudah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm seluas 46.435 ha (2,3%).

Belum tercapainya target tersebut, disebabkan oleh beberapa tantangan berikut:
Proses penetapan Areal Kerja HKm dan IUPHKm lebih lama dari waktu yang ditentukan. Menurut aturan, proses penetapan Areal Kerja HKm oleh Menteri Kehutanan selambat­lambatnya 60 hari kerja setelah adanya usulan dari Bupati/Walikota/Gubernur. Sesudahnya, penetapan IUPHKm selambat­lambatnya 40 hari kerja setelah adanya penetapan Areal Kerja HKm. Kenyataannya tidak ada satupun penetapan Areal Kerja HKm dan penetapan IUPHKm sesuai dengan aturan tersebut dan tidak ada sanksi atas keterlambatan proses tersebut. Keterlambatan tersebut salah satunya disebabkan oleh tidak ada sinergi antar direktorat di Kemenhut untuk mendorong penyederhanaan proses perizinan HKm. Misal, antara Dirjen BPDAS­PS, BUK dan Badan Planologi, khususnya eselon tiga ke bawah yang belum memiliki kesepahaman yang sama dalam penetapan Areal Kerja HKm.
Proses pemetaan yang sentralistik. Untuk memperoleh IUPHKm diperlukan peta calon lokasi HKm. Namun menurut Badan Planologi, banyak peta calon lokasi HKm yang telah dibuat tidak sesuai dengan standar perpetaan Kemenhut. Saat ini ada proses verifikasi peta yang dilakukan oleh BPDAS dan BPKH. Dalam hal ini ada pengakuan sentralistik dalam perpetaan dan ditambah lagi persoalan kebiasaan fasilitasi peta untuk perusahaan yang memberi benefit, sebaliknya untuk lokasi HKm tidak.
Peraturan tentang HKm yang tidak sinkron. Dalam P.37/2007 disebutkan bahwa pene­ tapan HKm hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung saja. Sementara pada PP 6/2007 disebutkan bahwa selain hutan produksi dan hutan lindung, HKm juga dapat ditetapkan pada kawasan Konservasi (kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional). Salah satu contohnya, tidak adanya sinkronisasi peraturan tersebut menjadi kendala dalam penetapan HKm di kawasan Tahura Sumber Agung dan Talang Mulya di Lampung.
HKm adalah kebijakan pemberian hak kelola hutan kepada kelompok yang sebenarnya tidak berbasis budaya masyarakat. HKm adalah pola­pola yang dikompilasi dari kelompok­kelompok dengan berbasis pada manajemen modern. Model­model pengelolaan secara kelompok ini tidak dikenal oleh masyarakat dalam sejarahnya pengelolaan hutannya.
Di dalam proses pengakuan dan perizinan HKm terdapat ketidakkonsistenan pemerintah. Di dalam pasal 12 ayat 3 Permenhut P.37/2007 disebutkan bahwa fasilitasi pengembangan kelompok, pengajuan permohonan izin, penyusunan rencana kerja, hingga pemberdayaan dan pasar bagi HKm wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dibantu pemerintah provinsi. Namun kenyataan di lapangan, beberapa fasilitasi HKm dilakukan oleh LSM dengan bantuan donor, dan belum ada yang dilakukan oleh pemerintah. Dan tak jarang dalam pengajuan penetapan Areal Kerja HKm maupun IUPHKm dari tingkat masyarakat justru terbentur pada pemerintah provinsi.
Terkait pembiayaan, setelah IUPHKm diperoleh, kelompok masih memiliki kewajiban yang harus dilakukan, seperti tata batas, rencana umum dan rencana operasional, pengamanan areal, penataan tata usaha pemanfaatan hasil hutan, dan laporan kerja pemanfa­ atan hasil hutan kepada pemberi izin. Serta adanya rencana pemanfaatan kayu pada kawasan Hutan Produksi jika masyarakat ingin memanfaatkannya. Seluruh kewajiban tersebut tentunya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit bagi kelompok.
Tingginya persyaratan yang harus dipenuhi dalam menyusun Rencana Umum (RU) dan Rencana Operasional (RO) menjadi kendala bagi kelompok setelah mendapatkan IUPHKM. Selain itu, ketiadaan fasilitasi dari pemerintah untuk peningkatan kapasitas dalam penyusunan RO dan RU tersebut, menjadikan kelompok tidak dapat menjalankan izin yang telah diperolehnya. Padahal, pemerintah berkewajiban dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Kenyataanya, berdasarkan pembelajaran dari beberapa kelompok HKm yang sudah berjalan, percepatan penyusunan RU dan RO tak lepas dari fasilitasi oleh LSM.
Kebijakan administrasi wilayah hutan; hingga saat inibelum ada kejelasan batasan hak masyarakat untuk mengelola areal Hutan Produksi. Kesalahan pemetaan Hutan Produksi pada zaman orde baru masih menjadi acuan dalam pencadangan Areal Kerja HKm. Sehingga konflik legalitas lahan belum terselesaikan. Banyaknya kepemilikan tanah masyarakat yang sejak lama telah berada di kawasan Hutan Produksi belum tertuntaskan dengan baik. Oleh karena itu, masih diperlukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaian persoalan ini.
Hingga saat ini, belum ada satupun kelompok HKm yang mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu HKm (IUPHHK­HKm) untuk Areal Kerja HKm di Hutan Produksi, seperti yang dialami oleh Kelompok HKm di Yogyakarta dan Buleleng. Beberapa hal yang menjadi kendala proses perizinan tersebut, diantaranya:
Belum adanya koordinasi antar direktorat di Kementerian Kehutanan dalam penyelesaian masalah ini. Program HKm menjadi domain Direktorat BPDAS­PS, tetapi yang mengeluarkan IUPHHK menjadi domain Direktorat Bina Usaha Kehutanan (BUK).
Hal ini membuat kebingungan bagi koperasi HKm yang akan mengajukan IUPHHK. Setelah semua persyaratan telah dilengkapi, ke direktorat mana proses pengajuan ini ditujukan?
Kebingungan tersebut berimplikasi menghambat proses di tingkat tapak. Sebagai contoh, untuk tindakan penjarangan tanaman. Secara teknis silvikultur, penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan yang sesungguhnya tidak memerlukan IUPHHK. Namun secara administrasi dan tata niaga kayu, penjarangan juga tindakan pemanfaatan sehingga ketika akan dilakukan diperlukan IUHHK­ HKm.
Dampak berikutnya, masyarakat anggota kelompok HKm maupun LSM melihat pemerintah belum serius dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar